Ketegasan: Wajah Lain dari Kasih Sayang dalam Pendidikan

Masih teringat jelas, beberapa tahun yang lalu saat saya nyantri di sebuah pondok pesantren yang notabenenya adalah pondok tahfizul Qur’an itu identik dengan sistem setoran, yaitu santri menyetorkan hafalannya kepada ustadz pembimbing.

Waktu itu, saya dan beberapa teman mendapat jatah setoran satu halaman, dan kami diberi waktu tiga jam untuk menghafalkannya, yaitu sejak selepas salat subuh hingga pukul tujuh pagi.

Sebenarnya, waktu tiga jam sangatlah cukup untuk menghafal satu halaman penuh, bahkan dua sekaligus. Namun, saat itu saya dan teman-teman justru menghabiskan waktu dengan bermain dan mengobrol hal-hal yang tidak penting.

Akibatnya, selama tiga jam, satu halaman pun tidak kami setorkan kepada ustadz. Karena tidak menyetor hafalan, kami pun mendapat sanksi sesuai aturan pondok.

Tak lama setelah dihukum, saya mendengar bisikan dari teman-teman, “Ustadz itu galak, masa nggak setor sekali aja langsung dihukum.” Saat itu saya terdiam.

Saya tahu saya memang salah, saya juga sadar bahwa ustadz kami tidak sedang marah namun beliau hanya bersikap tegas. Namun, dalam pandangan sebagian orang, ketegasan sering disalahartikan sebagai amarah.

Ustadz yang menegur muridnya karena malas dan seenaknya bukanlah sedang mencari masalah. Ia justru berusaha menyelamatkan masa depan muridnya agar tidak terbiasa dengan kelalaian.

Apa yang ustadz lakukan adalah untuk menjaga integritas lingkungan agar tidak tergerus oleh kompromi. Sayangnya, di dunia yang semakin sensitif terhadap teguran, ketegasan sering kali dianggap sebagai masalah.

Saya pun pernah merasakan hal yang sama. Ketika saya menjadi ustadz pengabdian setelah lulus dari pondok, saya sering enggan menegur murid yang bersalah, entah karena datang terlambat, bercanda saat pelajaran, atau hal lainnya.

Saya takut dilabeli sebagai “guru yang galak”. Namun, seiring waktu saya sadar, diam dalam ketidaktegasan sama saja dengan membiarkan kesalahan tumbuh, yang akhirnya merusak nilai kejujuran dan kedisiplinan di sekolah.

Hakikat ketegasan adalah bentuk cinta, meskipun tidak terlihat manis. Ia tidak selalu muncul dari senyuman atau kata-kata lembut, tetapi dari rasa tanggung jawab.

Sama seperti dokter yang harus menyuntikkan obat kepada pasien meskipun pasien menangis, bukan karena benci melainkan karena ingin menyembuhkan.

Begitu pula seorang pendidik, terkadang harus membuat orang lain merasa tidak nyaman demi kebaikan jangka panjang.

Ketegasan memang butuh waktu untuk dipahami, seperti pupuk yang awalnya membuat tanah terlihat kering, tetapi sebenarnya sedang menyiapkan kesuburan bagi tanaman.

Saya bersyukur kepada ustadz saya yang dahulu menegur saya. Mungkin dulu saya marah karena ditegur, tetapi kini saya berterima kasih karena teguran itulah yang membuat saya sadar dan berubah.

Sekarang, setiap kali saya harus bersikap tegas—baik kepada orang lain maupun kepada diri saya sendiri saya selalu mengingat satu kalimat: “Ketegasan akan selalu dianggap musuh oleh mereka yang tak mau berubah.”

Saya tahu, mungkin ada yang tidak senang, ada yang salah paham. Namun, selama niatnya tulus dan tujuannya baik, ketegasan bukanlah dosa.

Ia adalah cara paling jujur untuk mencintai—kebenaran, mencintai tanggung jawab, dan mencintai perubahan itu sendiri.

 

 

Kontributor: Faza Adiya Fahma Al-Hadi

Penyunting: Navi’ Vadila

Editor: Faras Azryllah

Share your love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *