Soeharto Bukan Pahlawan: Tumpahnya Darah, Pemberedelan Pers & Pembakaran Buku

Alih-alih memberikan keadilan dan pemulihan kepada para korban kejahatan HAM di masa lalu, negara lagi-lagi menciptakan luka baru pada luka-luka yang belum kering, dengan mengangkat dalang kejahatan menjadi pahlawan.

Pada 10 November 2025, rezim Prabowo–Gibran memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto. Hal ini adalah pengkhianatan negara, bukan hanya kepada para korban, tetapi juga bagi luka sejarah dan ingatan kolektif.

Keputusan ini semakin menjauhkan kita dari penyelesaian kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu yang terjadi di era kepemimpinan Soeharto.

Selama tiga dekade kekuasaan, rezim Orde Baru telah menumpahkan darah dan membungkam ide serta pikiran rakyat melalui kontrol terhadap pers dan pelarangan buku.

Hari Pahlawan 2025 mungkin menjadi teguran agar kita kembali mengingat bagaimana Soeharto merepresi tubuh dan pikiran rakyatnya.

Tumpahnya darah dan jatuhnya korban jiwa: Kejahatan HAM di Orde Baru

Jika berbicara tentang Soeharto dan Orde Baru, yang terlintas di benak saya bukanlah pembangunan atau stabilitas nasional, tetapi banjir darah dan hujan orang mati.

Berdasarkan penyelidikan pro-yustisia yang dilakukan Komnas HAM, sesuai dengan Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, terdapat 9 peristiwa pelanggaran HAM berat dalam periode kepemimpinan Soeharto, yaitu:

  1. Peristiwa 1965–1966
  2. Penembakan Misterius (1982–1985)
  3. Peristiwa Tanjung Priok (1984)
  4. Peristiwa Talangsari (1989)
  5. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989–1998)
  6. Penghilangan Orang secara Paksa (1997–1998)
  7. Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999)
  8. Peristiwa Mei 1998
  9. Pembunuhan Dukun Santet (1998–1999)

Selain itu, rezim Orde Baru juga melakukan berbagai pelanggaran HAM lain, seperti penetapan Daerah Operasi Militer di Aceh (1989–1998), pembunuhan massal Santa Cruz (1991), pembunuhan aktivis buruh Marsinah (1993), dan banyak kasus lain yang belum tersentuh keadilan.

Dari hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut, kita tahu bahwa nyawa manusia tidak ada harganya di hadapan rezim Orde Baru.

Para korban dibunuh dan disingkirkan atas nama stabilitas politik dan keamanan nasional, yang sejatinya demi kelancaran kroni dan oligarki.

Stabilitas politik dan keamanan nasional hanyalah omong kosong jika dibangun bukan dari kesejahteraan dan keadilan, apalagi jika berdiri di atas darah dan tubuh orang mati, serta mewariskan trauma yang tak kunjung sembuh.

Memenjarakan Pikiran: Kebebasan Pers & Pelarangan Buku
  • Pembungkaman & Pemberedelan Pers

Soeharto tahu betul bahwa ada yang lebih berbahaya daripada senjata dan kepalan tangan, yaitu: ide yang bebas dan pikiran yang merdeka.

Oleh karena itu, ia tidak hanya merepresi tubuh rakyat, tetapi juga pikiran mereka dengan membungkam pers dan melarang buku.

Rezim Orde Baru menjadikan pers sebagai alat propaganda agar kebenaran hanya memiliki satu pintu: versi penguasa.

Penguasa mengawasi ketat setiap bentuk informasi; jurnalis hanya boleh menulis sesuai kehendak pemerintah. Media, yang seharusnya menjadi alat menyuarakan kebenaran, justru menjadi corong kekuasaan.

Wartawan dan kantor media bisa diberedel, dipecat, atau dipenjara hanya karena memberitakan sesuatu yang tidak disukai penguasa.

Pemberedelan ini terjadi secara jamak, salah satu kasus paling terkenal adalah tahun 1994, ketika pemerintah membredel Tempo, Detik, dan Editor karena memberitakan pembelian kapal perang bekas yang dianggap boros.

  • Pelarangan & Pembakaran Buku

Tak berhenti di media, buku-buku pun menjadi korban pemberangusan. Buku yang dianggap berbahaya dilarang, disita, bahkan dibakar.

Pelarangan buku bermula sejak setelah tragedi G30S/PKI. Pada 6 Desember 1965, lewat Keputusan No. 1381/1965, Kolonel Setiadi melarang karya 87 penulis dan sastrawan yang dianggap terkait PKI , termasuk karya Pramoedya Ananta Toer.

Bukan hanya melarang secara sistematis orde baru juga membakar buku-buku berhaluan kiri. Kasus paling terkenal adalah pembakaran perpustakaan pribadi milik sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer pada Oktober 1965.

Dari situ pelarangan buku terus berulang dan sebakin banyak.

Pada Maret 1972, Jaksa Agung Sugih Arto melarang buku Sosialisme Ala Indonesia karya Prof. Dr. Moestopo.

Lalu pada 1991–1992, Jaksa Agung Singgih melarang 20 judul buku, di antaranya Demokrasi kita karya Mohammad Hatta dan Di Bawah Lentera Merah karya Soe Hok Gie.

Pelarangan dan pembakaran buku bukan hanya soal kertas dan tulisan, melainkan penindasan terhadap ide, kebebasan berpikir, dan intelektualitas

Kesimpulan dan Penutup

Dari semua tragedi berdarah yang mengorbankan nyawa demi langgengnya kekuasaan, dari pembungkaman pers hingga pembakaran buku, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme — rasanya tidak ada keteladanan atau integritas moral pada Presiden ke-2 Republik Indonesia ini untuk diberi gelar pahlawan.

Hal ini jelas tidak selaras dengan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan memutihkan kejahatan HAM dan menjauhkan para korban dari keadilan dan pemulihan trauma masa lalu.

Negara macam apa yang memberikan gelar pahlawan pada orang yang tangannya berlumur darah, penindas intelektual, dan tersangka korupsi, kolusi, serta nepotisme?

Kita memang tidak bisa melihat masa depan, tapi kita bisa mempelajarinya dari sejarah. Dari revisi RUU TNI, wacana penulisan ulang sejarah, hingga pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, kita mungkin bisa menebak arah kompas rezim hari ini.

Mungkin ini adalah aba-aba bagi kita semua untuk lebih getol merawat ingatan, merapikan arsip sejarah, membangun kesadaran bersama, merangkul kawan kanan–kiri, dan menguatkan urat leher serta kaki untuk menyambut Orde yang paling baru.

Sumber:

https://adenasution.com/pembakaran-buku-dari-masa-ke-masa-simbol-penindasan-intelektual/

https://tirto.id/orde-baru-rezim-pelarang-perampas-dan-pembakar-buku-de7K

https://www.indonesiana.id/read/181211/pers-di-masa-orde-baru-dikekang-dan-dibatasi

Buku Menjerat Gus Dur — Virdika Rizky Utama

 

Baca juga: Merawat Ingatan, September Hitam

 

Kontributor: Raka Amarullah

Editor: Faras Azryllah

Share your love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *