Bendera One Piece: Simbolik Keresahan dan Gagal Faham Penguasa?

Menjelang HUT RI ke-80, media sosial diramaikan oleh fenomena pengibaran bendera bajak laut dari serial anime One Piece. Pemasangan bendera tersebar di mana-mana, mulai dari pagar rumah, mobil truk, lapangan kampung, sampai perahu nelayan.

Sekilas terlihat hanya seperti pop culture biasa atau fanatisme seorang penggemar. Namun menurut saya, jika melihat konteks yang terjadi, fenomena ini lebih dari sekadar budaya pop atau fanatisme semata.

Ia hadir sebagai bentuk perlawanan simbolik atas dasar kemarahan, kekecewaan, dan keresahan warga terhadap keputusan-keputusan yang dirasa tidak berpihak pada rakyat. Dan tentu bukan untuk menggantikan simbol bendera negara.

Alih-alih memahami keresahan kolektif, juga mencari tahu mengapa hal ini terjadi, pemerintah justru merespons dengan tindakan represif, termasuk pelarangan terhadap pengibaran bendera tersebut.

Seperti pada 4 Agustus 2025, Polsek Sekupang bersama perangkat RT/RW, kelurahan, dan keamanan perumahan menurunkan bendera One Piece yang dikibarkan di rumah warga di Perumahan Cipta Village, Kota Batam.

Hal serupa juga terjadi di Sragen, Jawa Timur, ketika mural One Piece dihapus dengan pendampingan aparat TNI.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menanggapi fenomena pengibaran bendera bajak laut One Piece yang marak terjadi di berbagai daerah Indonesia.

Ia menyatakan bahwa aksi tersebut bukanlah sekadar ekspresi budaya pop atau candaan belaka, melainkan dapat mengarah pada upaya memecah belah bangsa dan memprovokasi antarwarga.

“Fenomena ini jangan dianggap sepele. Bisa saja ini merupakan provokasi yang sengaja dilakukan untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Kita harus waspada terhadap segala bentuk simbol atau gerakan yang berpotensi memicu konflik horizontal,” ujarnya kepada media.

Menurut saya, pernyataan ini berlebihan. Pengibaran bendera One Piece tentu tidak dimaksudkan untuk memecah belah bangsa, apalagi untuk makar.

Ini bukan gerakan politik yang mengancam negara, melainkan simbol keresahan terhadap sistem yang dianggap semakin jauh dari rakyat.

Ekspresi perlawanan melalui simbol semacam ini sudah sering terjadi dan terbukti tidak berpotensi makar. Contoh: payung hitam di Aksi Kamisan dan lambang semangka sebagai solidaritas kepada Palestina.

Pemasangan bendera itu hanyalah simbol ekspresi atas sistem yang dirasa semakin jauh dari rakyat. Bila dicermati, yang justru kerap menimbulkan polarisasi di masyarakat adalah atribut-atribut politik yang hadir setiap pemilu, lengkap dengan kampanye yang seringkali penuh janji kosong dan retorika yang membelah masyarakat.

Kita pun sebenarnya tidak perlu kaget dengan respon seperti ini dari penguasa. Ekspresi keresahan warga sebelumnya, misalnya lewat tagar #kaburajadulu atau #indonesiagelap, juga dihadapi dengan sikap serupa.

Maka jika simbol kecil seperti bendera anime saja bisa membuat penguasa merasa gusar, mungkin masalahnya bukan pada simbol itu, melainkan pada sistem yang semakin rapuh dan sulit dipercaya oleh rakyat.

Sebagai mahasiswa Indonesia di luar negeri, saya merasa penting untuk ikut memperhatikan dinamika ini. Fenomena bendera One Piece hanyalah salah satu contoh bagaimana keresahan rakyat dapat muncul dalam bentuk yang tak terduga.

Kesadaran seperti ini menjadi pengingat bahwa, sejauh apa pun kita berada, kita tetap memiliki tanggung jawab moral untuk peduli terhadap arah bangsa sendiri.

 

 

Kontributor: Raka Amarullah

Editor: Faras Azryllah

Share your love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *