Demokrasi Hari Ini: Penangkapan Demonstran dan Aktivis, Langkah Mundur bagi Demokrasi

Demokrasi, filsafat politik yang sudah ada dari ribuan tahun lalu, yang hingga kini masih relevan dan populer. Teori filsafat politik yang begitu banyak perdebatan tentang maknanya, Robert A. Dahl pernah menulis bahwa, “tidak ada suatu teori demokrasi – hanya ada teori-teori demokrasi.”

Jadi, sebelum membahas lebih jauh, mari kita sepakati dahulu definisi demokrasi dengan penafsiran umum yang sering digunakan dalam pemahaman demokrasi secara akademik.

Definisi ini berasal dari pernyataan terkenal Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln (1808–1865), dalam pidatonya yang terkenal di Gettysburg pada 1863, mengatakan bahwa, “democracy is government of the people, by the people, and for the people,” atau demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Oleh karena itu, pemerintahan dikatakan demokratis jika kekuasaan negara berada di tangan rakyat dan segala tindakan negara ditentukan oleh kehendak rakyat. Sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

Demokrasi hari ini (di Indonesia) rasanya hanya menjadi sebuah slogan atau mantra-mantra yang selalu disebut, dilafalkan, tapi dalam praktiknya begitu hampa dan kosong.

Kemunduran demokrasi sebenarnya sudah terjadi dari rezim-rezim sebelumnya. Salah satu contohnya: pengesahan UU ITE, undang-undang problematik yang berisi pasal-pasal karet yang dijadikan alat represif untuk mereka yang mengkritik.

Banyak dari aktivis, jurnalis, atau bahkan warga biasa yang dijerat UU ITE karena mengkritik pejabat, institusi, atau korporasi. Kasus Baiq Nuril dan Fathia-Haris adalah salah dua gambaran bagaimana pasal karet ini bekerja.

Kemunduran demokrasi masih ada dan berlanjut hingga hari ini. Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan kini jumlah tersangka yang ditetapkan telah menyentuh hampir seribu orang. “Jumlahnya ada 997 tersangka sekarang,” kata Yusril dalam konferensi pers, Jumat, 26 September 2025.

Data terakhir: sebanyak 997 demonstran—sekali lagi, 997 orang—ditangkap pasca demo 25–30 Agustus kemarin dan belum dibebaskan hingga hari ini.

Dan mungkin hari ini semakin bertambah karena pemburuan dan penangkapan aktivis di setiap daerah masih terus dijalankan.

Penangkapan-penangkapan aktivis tanpa bukti yang konkret juga dasar hukum yang jelas, seperti yang terjadi pada Del Pedro di Jakarta, Paul di Jogja, Sam Oemar di Kediri, Khariq Anhar di Riau, dan Syahdan Husein di Bali. Ini adalah langkah bukti langkah kemunduran demokrasi.

Bukankah kritik juga aksi demonstrasi adalah salah satu unsur penting dalam sebuah demokrasi yang sehat? Bukankah demonstrasi adalah cara, sarana masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, dan alat kontrol sosial terhadap pemerintahan yang sedang berjalan?

Jika kita kembali pada definisi demokrasi di awal, dan melihat kasus-kasus ini, di mana letak kedaulatan rakyat,  jika beraspirasi saja dilarang.

Aksi Demo adalah hak bagi setiap individu, dan hal ini juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU No. 9/1998).

UU ini menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk melalui unjuk rasa atau demonstrasi.

Seharusnya penguasa menjawabnya dengan mendengarkan, menanggapi secara baik dan terbuka, bukan menanggapi dengan pentungan, tembakan gas air mata, apalagi penangkapan.

Peristiwa penangkapan dan pemburuan ini hanya salah satu contoh dari bagaimana kemunduran demokrasi terjadi.

Demokrasi hari ini semakin dikikis, dipereteli dan semakin kehilangan definisinya.  Rasa-rasanya warga diperhitungkan juga dianggap hanya di dua hal: dalam rangka pemungutan pajak dan pemungutan suara.

 

Sumber:

https://www.tempo.co/hukum/jumlah-tersangka-demo-agustus-hampir-seribu-2073825

https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/surat-terbuka/hentikan-penangkapan-dan-kriminalisasi-pembela-ham-pasca-demo-25-agustus-2025/09/2025/

 

Baca juga: Merawat Ingatan, September Hitam

 

Kontributor: Raka Amarullah

Penyunting: Navi’ Vadila

Editor: Faras Azryllah

Share your love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *