Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Pulau Sumatra, khususnya Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sejak akhir November 2025, bukan hanya sekadar persoalan bencana hidrometeorologi, melainkan juga akibat penebangan pohon secara liar yang dilakukan oleh manusia yang serakah dan tidak bertanggung jawab.
Hal ini tampak dari gelondongan kayu berukuran besar yang hanyut terbawa aliran banjir bandang. Kejadian ini merupakan salah satu musibah yang sangat besar, sehingga menimbulkan dampak yang tragis dan mengecewakan.
Mengutip data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Rabu, 03 Desember 2025, pukul 15.33 WIB, terkonfirmasi jumlah korban meninggal dunia sebanyak 810 orang, korban hilang 612 orang, dan korban luka-luka mencapai 2.600 orang.
Angka ini menunjukkan betapa rusaknya lingkungan akibat pengelolaan hutan yang buruk dan lemahnya penegakan hukum.
Padahal, sejak dahulu Indonesia dikenal memiliki hutan tropis yang luas. Namun dalam beberapa dekade terakhir, jutaan hektare hilang setiap tahun.
Hutan yang seharusnya menjaga iklim, menjadi habitat bagi berbagai makhluk, dan menahan banjir, kini semakin menipis.
Islam tidak hanya mengatur ibadah antara manusia dan Penciptanya, tetapi juga mengajarkan bagaimana kita menjaga alam dan merawatnya dengan baik dan benar, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-A’raf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ
Artinya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah melarang manusia untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah menciptakannya dengan baik dan indah.
Kerusakan di bumi dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti mengubah aliran air dan menebang pohon-pohon yang berbuah.
Semua itu termasuk bagian dari perbuatan yang merusak bumi, sebagaimana pendapat Ad-Dhahhak dalam kitab Tafsir As-Sam’ani karya Abu Muzhaffar As-Sam’ani.
وَقَالَ الضَّحَّاك: من الْفساد فِي الأَرْض تغوير الْمِيَاه، وَقطع الْأَشْجَار المثمرة، وَكسر الدَّرَاهِم وَالدَّنَانِير.{وادعوه خوفًا وَطَمَعًا} أَي: خوفًا من الله وَطَمَعًا لثوابه إِن رَحْمَة الله قريب
(Abu Muzhaffar As-Sam’ani, Tafsir As-Sam’ani, Juz 2, Halaman 189, Riyadh, Daar al-Wathn)
Dikutip dari kitab Sunan Abu Dawud, Rasulullah SAW memperingatkan keras kepada umatnya untuk melakukan penebangan pohon secara liar.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ» سُئِلَ أَبُو دَاوُدَ عَنْ مَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ فَقَالَ: هَذَا الْحَدِيثُ مُخْتَصَرٌ، يَعْنِي مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً فِي فَلَاةٍ يَسْتَظِلُّ بِهَا ابْنُ السَّبِيلِ، وَالْبَهَائِمُ عَبَثًا، وَظُلْمًا بِغَيْرِ حَقٍّ يَكُونُ لَهُ فِيهَا صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ
Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menebang pohon bidara, maka Allah akan memasukkan kepalanya ke dalam api neraka.” Abu Daud ditanya tentang makna hadis ini, dan ia berkata, “Hadis ini ringkas. Artinya, barangsiapa menebang pohon bidara di padang pasir, tempat para musafir dan hewan berlindung, tanpa alasan dan tanpa hak, niscaya Allah akan mencelupkan kepalanya ke dalam api neraka.”
(Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Juz 4, hlm. 361, Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyyah)
Pohon bidara (atau yang biasa juga disebut dengan pohon sidrah) pada zaman Rasulullah SAW adalah tempat berteduh para musafir dan hewan di tengah panasnya gurun.
Karena manfaatnya besar, Rasulullah SAW melarang untuk menebangnya, melainkan memerintahkan untuk menjaganya dan menghormatinya.
Hadis ini menjelaskan bahwa larangan keras melakukan penebangan liar tidak hanya berlaku untuk satu jenis pohon saja, yaitu pohon sidrah atau bidara, melainkan untuk setiap pohon yang memiliki fungsi yang sama yaitu memberikan manfaat bagi makhluk lain, seperti perlindungan, tempat berteduh, atau penopang kehidupan umum dalam payung perlindungan syariat.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam sangat menekankan pentingnya menjaga kelestarian alam. Jika satu pohon saja dijaga begitu ketat, apalagi hutan yang sangat luas dan menjadi penopang kehidupan banyak makhluk.
Menjaga lingkungan adalah amanah besar yang harus dipikul bersama. Hendaklah kita tidak menjadi manusia yang serakah dan egois, yang hanya mementingkan kepentingan diri sendiri tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi di kemudian hari dan merugikan orang lain.
Baca juga: BERLIAN: Aksi Nyata Kepedulian Mahasiswa ASEAN dalam Menjaga Lingkungan
Kontributor: Muhammad ‘Imaduddin Roshief
Penyunting: Navi’ Vadila
Editor: Faras Azryllah

Akun Resmi HPMI Yordania, dikelola oleh Kementerian Komunikasi & Informasi







