Merawat Ingatan, September Hitam

September bukan hanya sekadar bulan atau runtutan hari dan tanggal. Di sana bersemayam darah, duka, perlawanan, juga perjuangan menuntut keadilan yang belum usai.

Jika bisa diberi label genre film pada 12 bulan yang ada, bulan September di Indonesia mungkin akan digolongkan sebagai thriller atau horor. Sebab, pada bulan ini terjadi begitu banyak peristiwa yang mencederai kemanusiaan dan menorehkan pelanggaran HAM.

Maka, untuk mengenang rangkaian peristiwa kelam tersebut, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menamainya sebagai “September Hitam.”

Peristiwa-peristiwa kelam yang terjadi di bulan September antara lain:
  • Tragedi Pembantaian PKI 1965 (30 September 1965), yang menelan jutaan korban di hampir seluruh wilayah Indonesia.
  • Peristiwa Tanjung Priok (12 September 1984), bentrokan antara massa umat Muslim dan aparat militer, sebuah tragedi yang memperlihatkan kebrutalan negara atas nama Pancasila.
  • Tragedi Semanggi II (24 September 1999), aksi damai mahasiswa yang menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) serta menuntut pencabutan dwifungsi ABRI (sekarang TNI). Aksi ini berujung ricuh akibat pembubaran paksa dengan gas air mata dan penembakan oleh aparat, yang menewaskan 11 orang, termasuk mahasiswa dan warga sipil.
  • Pembunuhan Munir Said Thalib (7 September 2004), seorang aktivis HAM yang gigih memperjuangkan keadilan bagi para korban kekerasan negara, yang diracun saat penerbangan menuju Belanda.
  • Pembunuhan Salim Kancil (26 September 2015), aktivis lingkungan yang menolak tambang di desanya dan dibunuh secara brutal karena perjuangannya.

Jika kita melihat dari tahun terjadinya peristiwa-peristiwa di atas, sudah bertahun lampau, bahkan jika diumpamakan seorang manusia mungkin sudah tua dan mempunyai anak cucu.

Namun ironisnya, waktu yang lampau itu tidak menunjukkan kasus-kasus ini selesai dan korban mendapatkan keadilan. Kenyataan yang ada malah bertolak belakang.

KontraS juga membahas di sebuah artikelnya tentang bagaimana hingga kini peristiwa-peristiwa September Hitam ini belum kunjung selesai.

Meski di kasus Munir dan Tanjung Priok sudah ada mekanisme peradilannya, namun para aktor intelektualnya belum juga terungkap dan diadili serta belum ada akses pemulihan kepada para korban.

“Sampai saat ini, peristiwa tersebut belum juga diselesaikan oleh negara secara berkeadilan dan mengedepankan prinsip-prinsip HAM yang menjunjung tinggi martabat korban. Meskipun kasus Munir dan Tanjung Priok sudah terdapat mekanisme peradilannya, tetapi pengungkapan kebenaran dan juga akses pemulihan kepada korban masih absen untuk dilakukan oleh negara.”

Lebih ironisnya lagi, negara tidak pernah belajar dari sejarah. Bukannya menyelesaikan pelanggaran HAM yang lalu juga melindungi hak-hak warga, negara terus melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM baru.

KontraS merilis, di tahun 2025 saja dari bulan Januari–Juni, setidaknya ada 843 orang yang mendapatkan kekerasan dari aparat.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merilis data bahwa sepanjang 25–31 Agustus 2025 tercatat 10 orang meninggal dunia, 1.042 luka-luka, dan 3.337 ditangkap dalam gelombang aksi di sejumlah kota.

Landasan Konstitusional

Negara seharusnya melindungi hak-hak dasar warganya sebagai manusia, juga memberikan keadilan hukum dalam kehidupan bernegara.

Hal-hal mendasar ini dikuatkan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 pasal 28I ayat 4 yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Begitu juga dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. UU ini mengatur tentang HAM di Indonesia secara khusus.

Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa pemerintah Indonesia wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM. Namun dalam prakteknya negara masih absen dan hal-hal ini terus terjadi.

Hal di atas memberikan kesadaran bahwasanya praktik impunitas masih berjalan langgeng di negara ini. Dan kita tahu, impunitas bukan untuk mereka yang maling sendal di masjid, maling ayam di kampung, atau copet-copet di pasar. Impunitas dihadiahkan kepada para elit.

Dan sekali lagi, hal-hal ini menyadarkan bahwa pemerintahan selama ini bukan berdiri atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, melainkan berdiri atas dasar kepentingan-kepentingan segelintir elit.

Selama impunitas masih berjalan, selama itu kita harus terus lebih getol merawat ingatan.

Mengapa kita harus terus merawat ingatan?

Bukan untuk terus-menerus mendramatisir luka masa lalu, atau berlarut-larut di luka masa lampau, bukan. Merawat ingatan tentang September Hitam dan kejahatan-kejahatan HAM masa lalu adalah manifestasi agar keadilan bagi para korban terealisasikan dan para pelaku diadili.

Juga agar tidak terjadi kejahatan-kejahatan tersebut di masa kini dan nanti. Untuk kita dan anak cucu kita nantinya. Tidak ada lagi Yun Hap, Munir, Widji Thukul, Marsinah, Salim Kancil, dan nama-nama lainnya.

Tak bisa kita pungkiri, besar-kecilnya ruang berbicara, ruang berekspresi, ruang diskusi yang lebih bebas juga demokratis yang kita peroleh hari ini tak terlepas dari peran mereka yang rela menjadi martir, mengorbankan sisi-sisi kenyamanan hidupnya. (Meski kita tahu hari ini, demokrasi makin dikebiri.)

Refleksi

September Hitam bukan hanya tentang merawat ingatan, tapi juga belajar dari luka-luka masa lalu, dan terus maju ke depan melanjutkan perjuangan untuk kemanusiaan, keadilan, dan untuk ruang-ruang demokrasi serta kelestarian alam.

September Hitam dan serentetan peristiwanya menjadi saksi nyata bagaimana negara absen dalam memberikan keamanan, kenyamanan, keadilan bagi warganya.

Bulan ini akan selalu kelam dan penuh nestapa jika para keluarga korban masih belum mendapat keadilan dan para pelaku masih belum diadili, masih terus berkeliaran bahkan duduk bersama di bangku kekuasaan.

“Jangan hanya yang ada korban, pelakunya tidak ada.”

 

Sumber:

Foto: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Aksi_Kamisan_371.jpg oleh Komisi Untuk Korban Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) via Wikimedia Commons, dilisensikan di bawah https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/

https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/hentikan-brutalitas-dan-tindakan-tidak-manusiawi-aparat-polri-tni-terhadap-rakyat/

https://backup10juni.kontras.org/september-hitam/

https://kontras.org/artikel/septemberhitam-ingatan-adalah-senjata-merawatnya-adalah-ancaman-bagi-penguasa

 

Baca juga: Membaca Pramoedya, Merawat Kesadaran

 

Kontributor: Raka Amarullah

Editor: Faras Azryllah

Share your love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *