Alhamdulillah, pada Kamis, 2 Oktober 2025, di kota Amman yang mulai diselimuti dingin, kami menutup lembar terakhir dari kitab Adab Sulukil Murid.
Sebuah karya yang lahir dari hati seorang ulama besar Yaman, Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad, ulama yang kata-katanya sederhana, tetapi mampu mengetuk pintu jiwa siapa saja yang berjalan di jalan ilmu.
Malam itu, angin Amman bergerak pelan, membawa kesejukan yang perlahan turun dari perbukitan. Udara yang menggigit pelan justru membuat majelis terasa hangat.
Lampu-lampu kota yang temaram seakan menyatu dengan suasana hati kami tenang, syahdu, dan penuh harapan. Malam seperti itu memang cocok untuk membuka kitab, menundukkan kepala, dan melantunkan shalawat kepada Baginda Nabi Muhammad.
Kitab ini tidak tebal, tetapi ia membawa kami pada perjalanan panjang ke dalam diri. Setiap halaman terasa seperti nasihat yang tidak hanya dibaca, tapi juga ditamparkan ke hati tentang siapa sebenarnya seorang murid itu.
Bagaimana ia berdiri, bagaimana ia berjalan, bagaimana ia menjaga kebersihan hati, dan bagaimana ia mengenal dirinya sebelum mengenal dunia di luar dirinya.
Di antara halaman yang kami telaah, ada satu kutipan yang terasa seperti cahaya yang menembus dada. Imam al-Haddad berkata:
فَترَاهُ في غايَةِ الحِرْصِ على مُتابَعَتةِ نَبِيَّهُ مُمتَثِلًا لِأَمْرِ رَبِّهِ، وَراغِبًا في الوَعْدِ الكَرِيمِ، وهاربا مِنَ الوعيدِ الألِيمِ
Bahwa seorang murid sejati akan tampak pada kesungguhannya mengikuti Nabi-nya, tunduk kepada perintah Tuhannya, berharap pada janji yang mulia, dan menjauh dari ancaman yang pedih.
Kalimat ini mengingatkan kami bahwa mengikuti ilmu tanpa mengikuti Rasul bukanlah perjalanan yang utuh. Mencintai guru sejati bukan sekadar menghormati keilmuan, tetapi juga menjaga adab yang diwariskan oleh Rasulullah.
Kalimat itu seakan membimbing kami untuk melihat kembali perjalanan ini: apakah langkah kami mengikuti cahaya atau hanya sekadar berjalan tanpa tujuan?
Di masa modern yang penuh kegaduhan ini, nasihat-nasihat itu terasa semakin relevan. Apalagi ketika banyak kejadian mencoreng wajah pesantren dan budaya ilmu.
Semuanya seperti mengetuk pintu kesadaran kami: bahwa penuntut ilmu tidak hanya butuh kecerdasan, tetapi juga keteguhan.
Di zaman yang penuh fitnah, menjaga hati dan badan dari keburukan menjadi kebutuhan agar keberkahan tidak menjauh dari perjalanan kami.
Ketika malam semakin larut, kami melantunkan Shalawat Burdah bersama-sama. Suaranya naik dan turun mengikuti arah angin, seakan merayap ke setiap sudut ruangan.
Dalam dinginnya kota Amman, shalawat itu terasa seperti selimut ruhani menghangatkan dada dan menyadarkan kami bahwa semua ini adalah karunia besar.
Kami berharap, dengan wasilah Rasulullah, perjalanan singkat di dunia ini berakhir dengan syafaat dan ketenangan di akhirat nanti.
Khataman ini bukan penutup, bukan pula garis akhir. Ia hanyalah pintu baru yang terbuka untuk langkah berikutnya.
Semoga Allah memudahkan kita beramal sholeh, menjaga adab, menuntut ilmu dengan hati yang lapang, dan menjadi manfaat bagi keluarga serta siapa pun yang Allah hadirkan dalam hidup kita.
Karena pada akhirnya, perjalanan seorang murid bukan diukur dari seberapa cepat ia selesai membaca kitab, tetapi seberapa jauh ia rela berubah menjadi lebih baik karenanya.
Kontributor: Eka Prasetya
Penyunting: Navi’ Vadila
Editor: Faras Azryllah

Akun Resmi HPMI Yordania, dikelola oleh Kementerian Komunikasi & Informasi







