Moderasi Beragama di Era Hiperealitas: Tantangan dan Peluang

“Orang beriman itu kreativitasnya tidak menyalahi hukum-hukum pokok” begitu kurang lebihnya yang dikatakan oleh Ustad Adi Hidayat dalam salah satu kajiannya di Yogyakarta tahun lalu.

Dinamika beragama di era kontemporer semakin kompleks, terutama setelah zaman nabi dan para sahabat. Berbagai tantangan muncul, menguji moderasi dalam beragama. Salah satu tantangan terbesar adalah teknologi, yang berperan dalam berbagai siklus politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam konteks ini, moderasi menjadi penting sebagai proses dialektika upaya memenuhi tuntutan moral dan kebajikan moral universal. Oleh karena itu, diperlukan upaya berkelanjutan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, terutama oleh kaum intelektual yang memiliki kesadaran kritis dan tidak nyaman dengan persoalan-persoalan teknis atau kemapanan.

 

Tantangan Teologis pada Era Teknologi

Teologi yang merupakan ruh kita dalam kehidupan tentunya tidak pernah lepas dari berbagai dinamika dialekttika problematika zaman. Jauh sebelum era postmodern atau justru pembuka era intelektual modern, teologi selalu dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya. Namun, era digital memperkenalkan tantangan baru yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga filosofis. Teknologi mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan agama dan bagaimana kita memahami nilai-nilai spiritual hingga mengantarkan kita pada fase situasi anomie saat ini, di mana norma-norma sosial tampak membingungkan. Sehingga dalam hal ini moderasi dalam beragama menjadi sebuah keharusan. Kaum intelektual, atau oleh Alain Badiou disebut sebagai “subjek militan”, dituntut untuk memperjuangkan nilai-nilai moral yang relevan di tengah kekacauan ini.

 

Hiperealitas

Hiperealitas, pertama kali diperkenalkan oleh Jean Baudrillard, yakni kondisi yang merujuk pada realitas semu mendominasi kehidupan kita. Atau sederhananya dapat kita anggap sebagai salah satu antithesis dari masyarakat produsen karl marx yang mengacu pada kepemilikan pabrik dan modal beralih menjadi masyarakat konsumeris yang standar pencarian nilainya ditentukan oleh konsumerisme.

Dalam masyarakat konsumeris, nilai-nilai sosial dan budaya seringkali digantikan oleh citra dan simulacra. Realitas visual, yang dihadirkan oleh teknologi, dapat mengalihkan perhatian kita dari nilai-nilai fundamental. Bagaimana bisa? Karena pada dasarnya generasi muda hari ini mencari nilai, dan tentunya di era digital hari ini media sosial adalah samsak utama. Sehingga apapun yang bermain di sana menjadi standar bagi penggunanya. Entah standar kekayaan, kebahagiaan, kesedihan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, memahami hiperealitas adalah langkah penting untuk merumuskan moderasi dalam beragama.

Hiperealitas tidak hanya menciptakan kebingungan, tetapi juga berpotensi menghancurkan identitas spiritual atau dampak jelas yang disebabkan oleh hiperealitas hari ini sering kita kenal dengan sebutan fomo atau masyarakat konsumerisme.

Dalam konteks agama dan sosial, fenomena ini  merusak nilai-nilai kejujuran dan keikhlasan yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Dimana tidak dapat terelakkan bahwasanya penyebaran ajaran radikal dan ekstremisme hari ini juga dipicu oleh akses informasi yang cepat dan algoritma media sosial yang tidak terkontrol, hingga menciptakan polarisasi sosial, terutama di kalangan gen z. Praktik seperti pamer amal, menganggap enteng moral agama, dan eksploitasi simbol-simbol religius memperlihatkan bagaimana realitas spiritual dapat terdistorsi menjadi sekadar citra yang mengedepankan penampilan dan konsumerisme. Sedangkan semestinya dalam kerangka syariah, penting untuk menjaga keseimbangan, keikhlasan, dan kejujuran agar praktik beragama tetap sesuai dengan nilai-nilai pokok agama, serta dapat memberikan jawaban kritis terhadap tantangan zaman yang dihadapi.

Hari ini ketika nilai-nilai agama terdistorsi oleh citra dan informasi yang berlebihan, individu bisa kehilangan arah dalam menjalani kehidupan beragama. Dalam konteks ini, moderasi hiperealitas harus dijadikan sebagai solusi untuk membangun kembali pemahaman yang sehat tentang moderasi beragama.

 

Moderasi sebagai Proses Dialektika

Moderasi bukanlah sebuah stagnasi, melainkan sebuah proses dinamis yang memerlukan perubahan dan adaptasi. Lebih jelasnya moderasi adalah situasi dimana kebajikan dituntut untuk berada di titik optimal, kesesuaian waktu dan tempat.

Dalam konteks hiperealitas, moderasi menjadi lebih dari sekadar pendekatan tekstual, tetapi juga harus bersifat kontekstual. Ini berarti bahwa moderasi harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan perubahan sosial yang cepat.

Kaum intelektual perlu berperan aktif dalam proses ini dengan mengidentifikasi dan mengatasi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat. Mereka harus mendorong diskusi kritis yang melibatkan berbagai elemen masyarakat untuk menemukan jalan tengah yang mengedepankan nilai-nilai moral. Dengan demikian, moderasi akan menjadi penggerak perubahan yang diperlukan untuk mengatasi tantangan zaman.

 

Hiperealitas sebagai Wadah Kreativitas

Untuk memanfaatkan potensi positif dari hiperealitas, kita harus mampu mengubah cara pandang terhadap teknologi dan informasi. Alih-alih melihatnya sebagai ancaman, kita perlu menjadikannya sebagai alat untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi. Generasi Z, yang telah terdistraksi oleh berbagai efek positif maupun negatif oleh dunia digital, sudah semestinya turut dijadikan sebagai agen perubahan. Mereka memiliki kemampuan untuk menjelajahi dunia hiperealitas dan menemukan cara baru untuk memahami dan mengekspresikan kreativitas mereka.

Dalam konteks ini, moderasi hiperealitas harus dianggap sebagai tanggung jawab moral yang diemban oleh setiap individu. Kita harus mengarahkan perhatian kita pada aspek-aspek positif dari hiperealitas dan menjadikannya sebagai kekuatan baru. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya akan terjebak dalam distraksi, tetapi juga mampu menggunakan hiperealitas untuk mendukung kemajuan sosial dan spiritual.

 

Mewujudkan Indonesia Emas 2045

Menjelang Indonesia Emas 2045, kita harus berbenah dalam sektor teknologi utamanya, jika tidak ingin Indonesia emas berakhir menjadi Indonesia cemas karena situasi generasi mudanya yang terjerat dalam dampak negatif hiperealitas. Sehingga menuntut adanya moderasi hiperealitas sebagai kunci untuk mengembangkan masyarakat yang berkepribadian dan berintegritas. Dengan memanfaatkan hiperealitas sebagai alat untuk menciptakan dialog dan interaksi yang konstruktif, kita dapat membangun jembatan antara tradisi dan modernitas. Ini adalah upaya untuk menciptakan masyarakat yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki nilai-nilai spiritual yang kuat dengan turut ambil andil dalam pengembangan teknologi hari ini.

Pendidikan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan moderasi hiperealitas. Kurikulum yang berfokus pada pengembangan pemikiran kritis dan pemahaman nilai-nilai moral dapat membantu generasi muda untuk menghadapi tantangan yang ada. Selain itu, perlu adanya platform yang lebih menarik di dunia digital yang memungkinkan generasi muda untuk berpartisipasi dalam diskusi dan aktivitas yang berkaitan dengan moderasi beragama. Tak lupa pula kerjasama dengan kalangan elit pemerintahan tentunya juga teramat sangat dibutuhkan untuk membantu menyaring berbagai proses yang bermain di algoritma media sosial.

 

Kesimpulan

Moderasi hiperealitas adalah sebuah keharusan dalam menghadapi dinamika moderasi beragama yang semakin kompleks di era teknologi kontemporer hari ini. Dalam konteks ini, moderasi tidak hanya menjadi pengontrol, tetapi juga sebagai pendorong perubahan. Dengan mengadopsi pendekatan yang kritis dan kontekstual, kita dapat menghadapi tantangan teknologi dan hiperealitas dengan cara yang positif.

Keberhasilan dalam menerapkan moderasi hiperealitas akan membawa kita menuju masyarakat yang lebih beradab dan seimbang, dengan nilai-nilai moral dan spiritual tetap terjaga dan berada diposisi semestinya sebagai kekuatan baru di tengah arus modernitas teknologi. Melalui upaya bersama, kita dapat mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 yang berlandaskan pada kebijaksanaan dan kreativitas.

Kontributor: Rodiatun Mardiah

Editor: Khaerul Umam

Share your love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *