Pendekatan Inklusif bagi Gen Z: Aktualisasi Moderasi Beragama ala K.H. Hasyim Asy’ari di Asia Tenggara

Generasi Z merupakan generasi yang lahir antara tahun 1995-2012. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mc Kinsey tahun 2018 terdapat empat kelompok komponen dasar pada diri gen Z. yang bermuara pada kesimpulan bahwa mereka adalah generasi yang mencari suatu kebenaran. Komponan pertama disebut dengan “the undefined ID”, artinya gen Z menghargai setiap individu dalam berekspresi. Mencari jati diri membuat gen Z terbuka dalam memahami keunikan setiap individu.

Kedua “the communaholic”, yaitu generasi yang inklusif dan mau terlibat dalam berbagai komunitas dengan memanfaatkan kecanggihan teknolgi untuk memperluas manfaat yang mereka inginkan. Ketiga, “the dialoguer”,  yaitu generasi yang percaya akan pentingnya komunikasi dan perubahan datang melalui adanya dialog, terbuka terhadap pemikiran berbeda dan gemar berinteraksi dengan individu beragam. Keempat “the realistic”, generasi yang lebih realistis dan analitis dibandingkan generasi sebelumnya.  Gen Z juga suka belajar secara mandiri dengan cara mencari informasi sendiri (Sakitri).

Secara keseluruhan Generasi Z memiliki karakteristik unik,yang membentuk mereka menjadi generasi pencari kebenaran, inklusif, komunikatif, realitis, dan mandiri dalam belajar (melalui internet). Namun, disatu sisi, mereka  berada pada era tsunami informasi. Kemajuan teknologi dan informasi yang tak dapat dibendung, memperkenalkan mereka pada aliran atau pemikiran yang belum dipahami sebelumnya. Selain itu, Gen Z juga dihadapkan pada risiko informasi yang tidak valid, yang dapat mempengaruhi persepsi atau pemahaman mereka terhadap sesuatu, termasuk dalam hal ilmu agama.

Menurut riset I-Khub Outlook BNPT RI tahun 2023 yang diungkapkan oleh Rycko Amelza Dahniel, remaja dan anak-anak termasuk kelompok yang rentan menjadi target radikalisme. Hal ini diperkuat dengan penelitian indeks potensi radikalisme, bahwa generasi muda, terutama Gen Z umur 11-26 tahun memiliki potensi tinggi terpapar radikalisme , serta mereka yang aktif di social media. Terdapat 2670 konten yang mengandung radikalisme, intoleransi, dan terorisme (Sholihin).

Jika generasi Z tidak dibekali dengan pemahaman dasar agama yang benar sebagai penyaring dari informasi tidak valid di internet, maka mereka akan mudah mengarah pada pemahaman keliru. Sangat berisiko jika tidak dibimbing, diawasi, atau diarahkan oleh orang dewasa. Pemahaman yang didapat dari sumber yang tidak benar, maka akan menghasilkan praktik yang tidak benar pula.

Moderasi Beragama Di Asia Tenggara

Penyebaran islam di asia Tenggara dengan konsep yang sangat khas, tercermin dari karakteristik penduduknya yang berwawasan luas, saling menghargai, berpikiran terbuka, dan sangat menjaga tradisi, oleh karena itu mengapa perkembangan islam di Asia Tenggara sangatlah pesat. Begitu juga beragam peluang jalur masuknya islam seperti melalui kebudayaan, pendidikan, dan yang paling masyhur adalah melalui jalur perdaganga. Peradaban islam di Asia Tenggara sesuai dengan konsep “Islam Rahmatan lil Alamin”, berbeda dengan konsep islamisasi di kawasan lain yang rentan akan perpecahan karena diletakkan sebagai national-state dan didominasi oleh sistem angkat senjata (Herdi As’ari, 2021)

Konsep “Islam Rahmatan lil Alamin” dapat di cermati dalam ayat Al-Qur’an yang ada dalam surah Al Anbiya: 107

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

Artinya: “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.”

Di tengah keberagaman agama dan budaya, moderasi beragama menjadi landasan yang penting dalam menjaga keharmonisan bangsa., Moderasi beragama dapat menjadi sarana untuk saling pengertian dan menghormati atas perbedaan pada internal maupun eksternal agama tertentu. Hakikatnya moderasi beragama mengajarkan setiap individu untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar tidak berlebih-lebihan dan juga tidak menggampangkan (RI, 2019). Dengan mengamalkan moderasi beragama, masyarakat Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang inklusif, di mana setiap individu dihargai atas keyakinan dan identitasnya tanpa merasa terancam dan terdiskriminasi.

Akan tetapi, sayangnya, ide yang bagus tersebut belum mampu menyentuh kaum muda yang mana mereka adalah kelompok rentan terpapar aliran ekstrim. Hal tersebut disebabkan program yang dijalankan pemerintah kebanyakan masih bersifat konvensional seperti pelatihan, seminar, dan pengajian. Sebagai digital native, generasi muda umumnya kurang tertarik dengan cara konvensional tersebut. Mereka menyukai sesuatu hal baru yang dapat masuk ke dunianya.

Pendekatan Inklusif K.H Hasyim Asy’ari

K.H.Hasyim Asyari,  pendiri Nahdatul Ulama (NU), merupakan tokoh pemersatu bangsa. Kontribusi beliau untuk bangsa Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Kehadiran beliau telah berhasil menyatukan komponen masyarakat Indonesia. Mulai dari mendirikan NU yang merupakan organisasi pemersatu umat, menyatukan golongan Islam dan MIAI, partai Islam dan Masyumi, dan mampu menggerakan rakyat Indonesia untuk berjuang melawan penjajah atau dikenal dengan ‘resolusi jihad” (Fadli & Sudrajat, 2020).

K.H.Hasyim Asyari juga dikenal sebagai tokoh moderat dan inklusif. Beliau berdakwah dengan metode wasatiyah, dimana beliau mengajak seluruh umat Islam tanpa memandang mazhabnya untuk tetap bersatu dan tidak terpecah belah hanya karena beda mazhab. Beliau juga memiliki pergaulan yang luas, tanpa memandang latar belakangnya. Karena itu beliau sangat disegani dari berbagai kalangan, baik dalam maupun luar negeri. Mereka pun datang dari berbagai tempat untuk belajar kepada beliau. Salah satunya Karl Von Smith, seorang berkebangsaan Belanda.

K.H.Hasyim Asyari menjelaskan  Islam kepada Karl dengan  cara yang mudah dan sederhana, sehingga mudah dipahami. K.H Hasyim Asyari juga menjelaskan Islam dengan merujuk pada kitab Nasrani yang diyakini oleh Karl. Karena jika menggunakan kitab Islam, Karl belum mempercayainya saat itu. Hasyim Asari juga tidak memaksa Karl untuk segera memeluk Islam. Melainkan beliau menyuruhnya memilih agama yang dikehendakinya berdasarkan ilmu, pengetahuan, dan keyakinan kuat setelah mengkaji Islam. Sehingga ketika masuk Islam, Karl memiliki akidah yang baik dan tidak mudah goyah.  (Razi, 2023)

Gaya dakwah K.H. Hasyim Asyari cenderung fleksibel dan dapat menjangkau pemahaman audience-nya, sehingga beliau dapat memahami sudut pandang  mereka. Hal ini terbukti dari kemampuan beliau dalam menyatukan berbagai kalangan. Gen Z, sebagai kelompok usia yang tertarik pada  keterbukaan dan berbagai sudut pandangan,  akan mudah menerima gaya dakwah K.H.Hasyim Asyari.

Sedangkan pemerintah saat ini dalam mengkampanyekan moderasi beragama belum mampu memberikan inklusivitas pada semua kalangan.  Kampanye kementrian masih bersifat ekslusif, yang mana sasaran mereka adalah kelompok akademisi maupun birokrasi. Dengan kemajuan teknologi dan informasi saat ini, seharusnya dapat memanfaatkannya untuk menjangkau audience lebih luas.

Kontributor: Asniah

Editor: Khaerul Umam

Share your love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *