Praktik Ordal dan Tantangannya untuk Menggapai Indonesia Emas 2045

Fenomena ‘ordal’ ini menjadi perhatian serius dalam berbagai aspek masyarakat, sebab ordal kini sudah merasuki semua tubuh masyarakat Indonesia, dari generasi X, Y (milenial), sampai generasi Z, dari tingkatan pelajar, mahasiswa, hingga dunia kerja. Mau masuk kampus favorit ada ordal, mau ikut himpunan pelajaran ada ordal, mau masuk dunia kerja ada ordal, bahkan mau cari tiket konser pun bisa menggunakan ordal. Saat ini fenomena ordal sudah mendarah daging bagi masyarakat kita. Lantas timbullah pertanyaan “Ordal salahnya di mana? “

Apa Itu Ordal?

Ordal” atau akronim dari “orang dalam” yaitu ketika seseorang yang memiliki akses dalam suatu organisasi yang memungkinkan mereka mempengaruhi aturan, proses, hingga keputusan tertentu. Dengan adanya ordal, maka seseorang akan lebih mudah dalam mencapai tujuan tertentu. Biasanya ordal sering terjadi pada hubungan kekerabatan dengan pihak yang memiliki jabatan maupun kekuasaan. Ordal juga bisa terjadi karena politik balas jasa, yaitu ketika seseorang telah membantu tujuannya maka mereka akan mendapatkan tempat atau jabatan yang langsung tanpa memandang kemampuan yang dia miliki.

Gejala ordal akan menimbulkan risiko dimana suatu pekerjaan ditangani bukan pada ahlinya, karena posisi tersebut diisi oleh seorang yang didapatkan dari hubungan rasa balas budi, tentu hal ini dapat menyebabkan menurunnya produktivitas suatu organisasi atau institusi terkait. Bayangkan jika fenomena ini terus terjadi di semua lini masyarakat Indonesia, tentunya dapat menghadang jalan bangsa ini menuju Indonesia emas 2045.

Mengapa praktik ordal berbahaya bagi suatu organisasi atau institusi? Hal ini dikarenakan sebagian besar individu yang mendapatkan akses kemudahan untuk lolos kerap kali kedapatan tidak memiliki kompetensi di bidang terkait. Proses seleksi atau rekrutmen yang dilakukan secara umum dengan mengedepankan aspek kompetensi atau pun kemampuan dari suatu individu dilewatkan atau bahkan hanya sebagai formalitas sehingga menciptakan individu yang tidak sesuai dengan kriteria.

Praktik Ordal dalam Dunia Kerja

Fenomena ordal pada dunia kerja terjadi karena kondisi saat ini sangat sulit untuk mencari pekerjaan, seperti yang kita ketahui bahwa penduduk usia produktif di Indonesia saat ini sedang berada pada masa surplus atau mengalami peningkatkan, namun peningkatan penduduk usia produktif ini tidak dibarengi dengan meningkatkannya lapangan pekerjaan sehingga berakibat pada ketatnya persaingan dalam mencari pekerjaan, hal ini menyebabkan masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan pekerjaan dengan segala cara mereka lakukan termasuk melalui jalur ordal.

Setidaknya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 1.819.830 orang yang tercatat mencari kerja pada Tahun 2023. Bahkan dikatakan bahwa rasio ini naik sekitar 94,18% dibandingkan tahun sebelumnya. Minimnya terkait Lapangan Pekerjaan tentu akan membuat celah baru bagi para oknum recruiter untuk memberikan beberapa akses dan menjadikan dirinya sebagai orang dalam untuk memuluskan beberapa orang yang tentunya memberikan feed terhadap dirinya.

Biasanya, seseorang yang menjadi ordal juga memiliki tujuan dan kepentingan tertentu, seperti orang dalam ini akan membantu meloloskan seseorang di tempat kerjanya supaya kelak ketika dia ingin mendapat dukungan maka seorang yang dia berikan jabatan ini bisa diandalkan. Dengan kata lain sang orang dalam ini bisa memanfaatkan seseorang yang direkrutnya untuk kepentingan pribadi.

Tentu hal ini akan berakibat buruk bagi sebuah institusi, umumnya si orang dalam ini akan memberikan efek negatif terhadap kinerja sebuah institusi serta akan menurunkan kapabilitas dari suatu Institusi. Fenomena ini juga memiliki dilema karena dianggap sebagai langkah utama dalam menggapai efisiensi rekrutmen.

Praktik orang dalam ini dapat berdampak positif apabila subjek yang terpilih benar-benar memiliki kemampuan dan kapasitas yang baik. Hal ini juga dapat menguntungkan karena bisa memangkas waktu dan efektivitas dalam proses rekrutmen. Tapi apakah rekrutmen melalui praktik jalur orang dalam ini selalu tepat sasaran? Tentunya tidak, sebab faktanya praktik jalur orang dalam ini lebih banyak mengutamakan kepentingan pribadi akibat kekerabatan atau politik balas jasa belaka daripada kepentingan institusi atau organisasi terkait.

Praktik Ordal dalam Dunia Pendidikan

Fenomena praktik jalur ordal kini juga telah merambak pada generasi muda Indonesia di lingkungan pendidikan, yaitu pada pelajar maupun mahasiswa.

Jika ordal di dunia kerja akan bisa bermanfaat bagi seseorang pelamar kerja untuk bisa lolos seleksi dan diterima kerja di suatu institusi, tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di dunia pendidikan. Contohnya jika ingin masuk bagian kepengurusan organisasi siswa atau kemahasiswaan maka perlu ordal dari teman-teman kita, di mana mereka sudah mempunyai kewenangan dalam memilih anggota organisasinya, mereka dapat memilih layaknya dalam pemilihan kabinet para menteri negara tetapi versi lite.

Contoh lain, supaya bisa lulus dan masuk di sebuah sekolah atau universitas favorit nomor wahid, maka seseorang akan meminta bantuan jalur ordal di sekolah atau universitas tersebut untuk meluluskannya. Dan fenomena ini bukanlah hal yang asing di telinga kita, sebab fenomena ini sudah banyak terjadi di lingkungan pendidikan.

Jika ini dibiarkan dan dibiasakan pada generasi muda kita, maka budaya ini akan menjadi kebiasaan dan terus berlanjut bak jamur yang subur di musim hujan, di mana nantinya para remaja dan pemuda yang saat ini di rentang usia 14 sampai 25 tahun akan terus mereka budayakan sistem ordal ini.

Sampai tibalah di 20 tahun ke depan yaitu di tahun 2045 dimana para remaja dan pemuda yang usianya 14 sampai 25 tahun itu telah menjadi pemuda dengan rentang usia matang 34 sampai 45 tahun tetapi sudah terbiasa dengan budaya ordal, nepotisme, dan hasil yang instan lainnya yang tentunya merekalah yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan bangsa ini, pasti hal tersebut dapat menguburkan cita-cita Indonesia emas 2045 yang telah kita rancang dari jauh hari.

Menanamkan Meritokrasi untuk Membasmi Praktik Ordal

Salah satu solusi untuk menekan fenomena ordal ini yaitu kita harus sadar akan dampak negatif dari praktik ordal ke depannya dan harus mulai menumbuhkan nilai-nilai meritokrasi. Apa itu meritokrasi?

Meritokrasi adalah sistem politik di mana siapa pun berhak menjadi pemimpin atau berhak memegang suatu amanah dengan berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan berdasarkan kekayaan, kelas sosial, kekerabatan, atau konflik kepentingan lainnya karena kepemimpinan di suatu kelompok menjadi andil penting dalam maju atau tidaknya sebuah kelompok tersebut.

Dahlström et al. (2011) yakin bahwa meritokrasi dapat membantu mengontrol korupsi, suap, dan praktik-praktik tidak etis lainnya dalam birokrasi. Jika nilai meritokrasi sudah mulai tumbuh pada masyarakat Indonesia, baik di kalangan generasi muda atau pun pekerja, maka bukan mustahil praktik ordal ini dapat dibasmi.

Salah satu negara yang telah berhasil menanamkan nilai meritokrasi ini adalah Singapura. Negara yang dulunya miskin dan tidak memiliki SDA dan SDM, kini telah menjadi negara kaya dengan memiliki SDM tertinggi nomor dua di dunia, disurvei IMD World Talent Ranking (WTR) 2024.

Hal tersebut tidak lepas dari andil kepemimpinan meritokrasi Perdana Menteri pertamanya, Lee Kuan Yew, yang menyulap Singapura menjadi negara yang maju dengan menanamkan kedisiplinan dan nilai meritokrasi yang tinggi, di mana hal ini juga membawa Singapura menuruni angka penganggurannya dari 13% menjadi hanya 1% saja dalam waktu 20 tahun setelah merdeka.

Lantas, apakah Indonesia dapat meniru Singapura dalam hal menanamkan nilai-nilai meritokrasi? Meskipun begitu, perlu kita ketahui bahwa Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Singapura dari sisi apple to apple, Indonesia dan Singapura memiliki jumlah penduduk dan luas wilayah yang jauh berbeda dan permasalahan yang berbeda pula. Akan tetapi, satu hal yang bisa kita cermati dari Singapura yaitu cara PM Lee Kuan Yew mengubah SDM yang mereka miliki dengan cara menaikkan kualitas pendidikan sehingga teredukasilah para SDM-nya dan menyerahkan jabatan pada orang yang tepat di setiap bidang birokrasi.

PM Lee Kuan Yew tidak segan mencopot petinggi negara jika kinerja para pejabatnya itu menurun atau tidak produktif lagi, bahkan Lee Kuan Yew menghukum berat para koruptor dan pelaku nepotisme walaupun yang melakukan itu merupakan petinggi negara yang disegani.

Memang perlu kita sadari bahwa menanamkan nilai-nilai meritokrasi dan menghapus praktik orang dalam bukanlah suatu perkara mudah, perlu kesadaran dan komitmen bersama. Lalu kita mempraktikkan nilai-nilai positif yang beradab, terutama kita sebagai mahasiswa generasi muda penerus bangsa harus memulainya walaupun dimulai dari hal yang kecil tetapi lambat laun dapat memutus rantai ordal ini. Dan juga sebagai warga negara Indonesia yang mencintai negaranya, sudah seharusnya memaknai jiwa nasionalisme dan mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam berbagai aspek kehidupan, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat.

Kontributor: Jamaluddin Mustopa

Editor: Khaerul Umam

Share your love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *