BACA INI SEBELUM KAMU JADI YATIM!

“Jadi yatim dulu aja, nanti juga tahu caranya.”

Jawaban saya kepada teman-teman saat ditanya, kok bisa cepat berdamai serta mempercandai tentang gelar baru yang saya punya: “yatim”? Gelar yang dicapai tanpa perlu menyelesaikan SKS, KKN, dan skripsi. Gelar yang dibayar dengan rasa sepi dan kehilangan.

Tentu saja itu jawaban bercanda.

Jawaban seriusnya karena saya memiliki hubungan yang baik dan hangat, saling memberikan kasih sayang satu sama lain. Hubungan yang penuh kasih.

Saya tahu bapak menyayangi saya, begitu pun sebaliknya — istilah kerennya secure attachment.

Hal-hal ini mungkin yang membuat saya lebih legowo, karena tidak ada perasaan dosa dan penyesalan sebab kurang berbakti atau kurang memberikan kasih sayang selama hidupnya.

Dalam Journal of Innovative Counseling: Theory, Practice & Research Vol. 6, 2022, yang berjudul “Hubungan Kelekatan dengan Tingkat Kedukaan pada Orang Dewasa,” dijelaskan bahwa orang dengan secure attachment mampu mengatasi konflik dengan baik, termasuk kedukaan yang mereka alami.

Orang dengan tipe kelekatan ini pun memiliki kesadaran diri yang tinggi, sehingga membuat mereka mampu untuk lebih cepat menyadari diri serta apa yang perlu mereka lakukan untuk menjalankan kehidupan.

Yang mungkin cukup membuat saya sesak dan sesali adalah kelalaian saya tidak pernah mendokumentasikan video dan rekaman suaranya.

Saya masih ingat betul suaranya — saat bicara, marah, bercanda, tertawa — namun saya tidak pernah bisa mendengarkannya ulang lagi.

Dan yang kedua yang membuat sesak, karena saya tidak pernah merayakan hari kelahirannya. Karena ulang tahun tidak ada di budaya keluarga kami.

Tapi rasanya, ia sebagai boomers, perlu merasakannya sekali — perasaan bagaimana senangnya hari kelahirannya dirayakan.

Jadi, untuk teman-teman, buatlah hubungan yang baik dengan bapak kalian, rayakan dan rekamlah secukupnya setiap momennya.

Karena itu mungkin akan menjadi obat penawar ketika waktunya datang — waktu dikala dada terasa sesak seperti tombak tercolok menembus dada, dikala napas terasa lebih baik terikat, dan dikala hidup tak berarti apa pun.

Karena sejatinya kalian hanya sedang mengantri giliran untuk menjadi yatim. (Mampus kau dikoyak-koyak overthinking, hehehehe.)

Dan yang harus disiapkan juga: mental sabar menghadapi basa-basi dan ucapan duka yang template serta membosankan.

Terkadang juga menyakitkan, namun kita harus terus memaklumi bahwa niatnya baik, bukan menyakiti.

Kepergian bapak dua tahun lalu membawa kesadaran baru: sejatinya saya — atau kita, manusia — tidak pernah memiliki waktu.

Kita sering merasa memiliki waktu, padahal waktu bukan kita yang punya. Waktu terus mengalir, mencair di sela-sela ujung jari kita, tak membeku.

Tak peduli kita sedang senang berat atau duka hebat. Dan sialnya, hidup harus terus dijalani.

Berbaktilah selagi masih hidup, karena jika sudah pergi seperti saya, berbakti hanya bisa lewat doa dan kemarin, 10 Oktober, untuk melanjutkan berbakti saya merayakan hari kematiannya.

Selamat Hari Ayah.

 

 

Kontributor: Raka Amarullah

Editor: Faras Azryllah

Share your love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *